Langsung ke konten utama

Produk Murabahah, Istishna', Ijarah dan Ijarah Muntahiya Bit Tamlik

Nama            : Liza Moersin
NPM             : 1401270136
Kelas             : VI B Pagi-Perbankan Syariah
M.K              : Perbankan Syariah II
Buku             : Ir. Adiwarman A. Karim, S.E, MBA., M.A.E.P



A. BA'I MURABAHAH
Pengertian Murabahah adalah akad jual beli atas barang tertentu, dimana penjual menyebutkan dengan jelas barang yang diperjual belikan, termasuk harga pembelian barang kepada pembeli, kemudian ia mensyaratkan atasnya laba atau keuntungan dalam jumlah tertentu. Definisi lain murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. (Muhammad, 2009:57) 


Dalam murabahah, penjual harus memberitahu harga produk yang  ia beli dan  menentukan  suatu tingkat  keuntungan  sebagai  tambahannya. Murabahah dapat  dilakukan  untuk  pembelian  secara pemesanan  dan biasa  disebut  sebagai murabahah  kepada  pemesan  pembelian (KPP). (Muhammad, 2009:57) 

Fatwa DSN Tentang Ketentuan Murabahah 

Pembiayaan  murabahah  telah  diatur  dalam  Fatwa  DSN  No. 04/DSN- MUI/IV/2000.  Dalam fatwa tersebut  disebutkan ketentuan  umum  mengenai murabahah, yaitu sebagai berikut: 
  • Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba. 
  • Barang  yang  diperjual  belikan  tidak  diharamkan  oleh  syari’at Islam. 
  • Bank  membiayai  sebagian  atau  seluruh  harga  pembelian barang  yang  telah disepakati kualifikasinya.  
  • Bank  membeli  barang  yang  diperlukan  nasabah  atas  nama bank  sendiri,  dan pembelian ini harus sah dan bebas riba. 
  • Bank  harus  menyampaikan  semua  hal  yang  berkaitan dengan  pembelian, misalnya  jika pembelian  dilakukan  secara utang. 
  • Bank  kemudian  menjual  barang  tersebut  kepada  nasabah (pemesan)  dengan harga  jual senilai  harga  plus keuntungannya.  Dalam  kaitan  ini  bank  harus memberitahu secara  jujur harga  pokok  barang  kepada  nasabah  berikut biaya yang diperlukan. 
  • Nasabah  membayar  harga  barang  yang  telah  disepakati tersebut  pada  jangka waktu tertentu yang telah disepakati. 
  • Untuk mencegah  terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah. 
  • Jika  bank  hendak  mewakilkan  kepada  nasabah  untuk  membeli barang  kepada pihak  ketiga,  akad  jual  beli  murabahah  harus dilakukan  setelah  barang,  secara prinsip menjadi milik bank.  


Aturan  yang  dikenakan  kepada  nasabah  dalam  murabahah ini  dalam fatwa adalah sebagai berikut: 
  • Nasabah  mengajukan  permohonan  dan  perjanjian  pembelian suatu barang  atau asset kepada bank. 
  • Jika  bank  menerima  permohonan  tersebut  ia  harus  membeli terlebih  dahulu  assetyang dipesannya  secara  sah  dengan pedagang. 
  • Bank  kemudian menawarkan  asset  tersebut  kepada  nasabah  dan nasabah  harus menerima (membeli)-nya  sesuai  dengan perjanjian  yang  telah  disepakatinya, karena  secara  hukum perjanjian  tersebut mengikat; kemudian kedua belah pihak harus membuat kontrak jual beli. 
  • Dalam  jual  beli  ini  bank  dibolehkan  meminta  nasabah  untuk membayar  uang muka  saat menandatangani  kesepakatan  awal pemesanan. 
  • Jika  nasabah kemudian menolak membeli barang  tersebut, biaya riil bank harus dibayar dari uang muka tersebut. 
  • Jika  nilai  uang  muka  kurang  dari  kerugian  yang  harus ditanggung  oleh  bank, bank  dapat meminta  kembali  sisa kerugiannya kepada nasabah. 
  • Jika  uang  muka  memakai  kontrak  ‘urbun  sebagai  alternatif dari  uang  muka, maka:  (1) jika  nasabah  memutuskan  untuk membeli  barang  tersebut,  ia  tinggal membayar  sisa  harga; atau (2)  jika  nasabah  batal membeli,  uang muka menjadi milik  bank maksimal  sebesar kerugian  yang  ditanggung  oleh  bank akibat pembatalan  tersebut;  dan  jika  uang  muka tidak mencukupi,  nasabah  wajib melunasi  kekurangannya.
RUKUN BA'I AL-MURABAHAH :
a.  Penjual (Ba’i)
b. pembeli (Musytari)
c.  Objek Jual Beli (Mabi’) 
d.  Harga (Tsaman) 
e.  Ijab Qabul 

Syarat Ba’I Al-Murabahah 

  • Penjual memberitahu biaya modal kepada nasabah.  Bank  harus  memberitahu  secara  jujur berkaitan  dengan  harga pokok  pembiayaan  dan  harga  pokok  barang  kepada  nasabah berikut biaya yang diperlukan. 
  • Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan. 
  • Kontrak harus bebas dari riba. Transaksi  yang  dilandaskan  dengan  hukum  Islam  merupakan syarat  utama  dalam  pembiayaan  diperbankan  syari’ah.  Usaha yang  halal  merupakan  satu satunya  transaksi  yang  dilakukan bank islam. 
  • Penjual  harus  menjelaskan  pada  pembeli  bila  terjadi  cacat  atas barang  sesuai pembelian.  Maka  bank  harus  menjelaskan kualitas  barang  yang  akan  diperjual belikan,  baik  dari  segi fisik  dan  kelayakan  nilai  suatu  barang  agar mendapat kepuasan pembelian yang dilakukan oleh nasabah. 
  • Penjual  harus  menyampaikan  semua  hal  yang  berkaitan dengan  pembelian, misalnya  jika pembelian  dilakukan  secara utang. 
  • Secara  prinsip,  jika  syarat  dalam  (a),  (d),  (e)  tidak  dipenuhi, pembeli memiliki pilihan:
    • Melanjutkan pembelian seperti apa adanya. 
    • Kembali  kepada  penjual  dan  menyatakan  ketidaksetujuan atas  barang yang dijual. 
    • Membatalkan kontrak.
      Jual  beli  secara  al-murabahah  diatas  hanya  untuk  barang  atau produk  yang  telah dikuasai  atau dimiliki  oleh  penjual  pada waktu  negosiasi  dan  berkontrak.  Bila produk  tersebut  tidak dimiliki oleh  penjual,  sistem  yang  digunakan  adalah murabahah kepada  pemesan  pembelian  (murabahah KPP).  Hal  ini  dinamakan demikian  karena  si penjual  semata-mata  mengadakan  barang untuk memenuhi  kebutuhan  si  pembeli  yang memesannya  (Hasan, 1991:35).  
    • Murabahah dalam perbankan Islam
      Bank-bank  Islam  umumnya  mengadopsi  murabahah  untuk memberikan  pembiayaan jangka pendek  kepada  para  nasabah guna  pembelian  barang meskipun mungkin nasabah  tidak memiliki uang untuk membayar pada  saat  itu. Murabahah,  sebagaimana yang digunakan  dalam  perbankan Islam,  prinsipnya didasarkan  pada  dua elemen pokok yaitu  terkait  dan  kesepakatan  atas  labanya (mark up). 


Dengan  demikian,  ciri-ciri  mendasar  yang  dapat  disimpulkan pada  kontrak murabahah  (jual  beli dengan  pembayaran  tunda)  ini adalah sebagai berikut : 
  • Pihak  pembeli  harus  memiliki  pengetahuan  tentang  harga  awal dari barang yang dijual pihak bank, biaya-biaya terkait dengannya dan  batas  laba  (mark-up)  yang ditetapkan  dalam bentuk prosentase dari total harga plus biaya-biayanya. 
  • Obyek  yang  diperjual-belikan  adalah  berupa  barang  atau komoditas dan harus dibayar dengan uang. 
  • Obyek  yang  diperjual-belikan  harus  ada  dan  dimiliki  oleh  pihak penjual atau wakilnya dan dapat diserahkan secara langsung. 
  • Pembayaran  yang  dilakukan  oleh  pihak  pembeli  dapat ditangguhkan (angsuran). (Muhammad, 2004:93) 


Sejumlah  alasan  diajukan  untuk  menjelaskan  popularitas murabahah dalam operasi investasi perbankan Islam yaitu: 
  • Murabahah  adalah  suatu  mekanisme  ivestasi  jangka  pendek, menggunakan  sistem Profit and  Lost  Sharing  (PLS),  dan  proses cukup mudah. 
  • Mark-up  dalam  murabahah  dapat  ditetapkan  sedemikian  rupa sehingga memastikan bahwa bank dapat memperoleh keuntungan yang  sebanding  dengan  keuntungan  bank-bank  yang berbasis bunga yang menjadi saingan bank-bank Islam. 
  • Murabahah menjauhkan ketidakpastian yang ada pada pendapatan dari bisnis-bisnis dengan sistem PLS (Karim, 2001:94). 


B. BA'I ISTISHNA'
1. Pengertian Istishna'
Berasal dari kata ﺻﻧﻊ (shana’a) yang artinya membuat kemudian ditambah huruf alif, sin dan ta’ menjadi ﺍ ﺴﺗﺻﻧﻊ (istashna’a) yang berarti meminta dibuatkan sesuatu.
Istishna’ atau pemesanan secara bahasa artinya: meminta di buatkan. Menurut terminologi ilmu fiqih artinya: perjanjian terhadap barang jualan yang berada dalam kepemilikan penjual dengan syarat di buatkan oleh penjual, atau meminta di buatkan secara khusus sementara bahan bakunya dari pihak penjual.
Contohnya seseorang pergi ke salah satu tukang, misalnya tukang kayu, tukang besi atau tukang jahit. Lalu mengatakan; “Tolong buatkan untuk saya barang anu sejumlah sekian.” Syarat sahnya perjanjian pemesananan ini adalah bahwa bahan baku harus berasal dari si tukang. Kalau berasal dari pihak pemesan atau pihak lain, tidak disebut pemesanan, tetapi menyewa tukang.
Transaksi Bai’ al-istishna’ merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang lalu berusaha melalui orang lain untuk membuat atau membeli barang menurut spesifikasi yang telah di sepakati dan menjualnya kepada pembeli akhir. Kedua belah pihak bersepakat atsa harga serta sistem pembayaran di lakukan di muka, melalui cicilan atau di tangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang akan datang.
2. Dasar Hukum Istishna’
Dasar Hukum transaksibai’ as-salam terdapat dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits.
a. Al-Qur’an
يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
“hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang tidak di tentukan, hendaklah kamu menuliskannya….”(al-Baqarah:282)
Dalam kaitan ayat tersebut, Ibnu Abbas menjelaskan keterkaitan ayat tersebut tentang transaksi bai’ as-salam. Hal ini tampak jelas dari ungkapan beliau, “saya bersaksi bahwa salaf (salam) yang di jamin untuk jangka waktu tertentu telah di halalkan oleh Allah pada kitab-Nya dan di izinkan-Nya.” Ia lalu membaca ayat tersebut diatas.
b. Al-hadits
ﻣﻥ ﺍﺳﻟﻑ ﻓﻲ ﺷﻲ ﻓﻓﻲ ﻛﯿﻝ ﻣﻌﻟﻭ ﻡ ﻭ ﻭ ﺯ ﻦ ﻣﻌﻟﻭ ﻡ ﺍ ﻟﻰ ﺍ ﺟﻞ ﻣﻌﻟﻭ ﻡ
“Barangsiapa yang melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula untuk jangka waktu yang di ketahui”
Dari Suhaib r.a bahwa Rasulullah saw bersabda,
“Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan : jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk di jual.”(HR Ibnu Majah)
3. Rukun dan Syarat Istishna
Pelaksanaan bai’ al-istishna’ harus memenuhi sejumlah rukun berikut ini.
  1. muslam atau pembeli
  2. muslam ilaih atau penjual
  3. modal atau uang
  4. muslam fiihi
  5. sighat atau ucapan
4. Syarat Bai’ al-istishna’
Di samping segenap rukun harus terpenuhi, bai’ al-istishna’ juga mengharuskan tercukupinya segenap syarat pada masing-masing rukun. Di bawah ini akan di uraikan di antara dua rukun terpenting, yaitu modal dan barang.
a. Modal Transaksi Bai al-istishna’
  1. Modal Harus di ketahui.
  2. Penerimaan pembayaran salam.
b. Al-muslam fiihi (Barang)
  1. Harus spesifik dan dapat di akui sebagai utang
  2. Harus bisa di identifikasi secara jelas
  3. Penyerahan barang di lakukan di kemudian hari
  4. Kebanyakan ulama mensyaratkan penyerahan barang harus di tunda pada suatu waktu kemudian, tetapi mazhab syafi’i membolehkan penyerahan segera.
  5. Boleh menentukan tanggal waktu di masa yang akan datang untuk penyrahan barang.
  6. Tempat penyerahan.
  7. Penggantian muslam fiihi dengan barang lain.
C. IJARAH
 Pengertian Ijarah (Sewa Menyewa).
Dalam Ijarah murni, yang berlaku adalah perjanjian sewa menyewa biasa. Dimana pihak tetap memiliki kedudukan sebagaimana awal perjanjian, yaitu antara pihak yang menyewakan dan pihak yang menyewa barang. Setelah masa sewa berakhir, para pihak kembali pada kedudukannya masing-masing. Dalam konsep Ijarah murni tersebut, yang di sewakan tidak hanya berupa manfaat atas suatu barang saja, melainkan juga manfaat atas suatu jasa tertentu. Misalnya: jasa borongan pembangunan gedung bertingkat, jasa borongan penjahitan dan lain sebagainya.
Jadi, titik beratnya adalah pada jasa pemborongan suatu pekerjaan, yang konsepnya sangat berbeda dengan jasa perburuhan. Karena dalam jasa perburuhan, yang terjadi adalah hubungan kerja antara majikan dengan pekerjanya. sedangkan dalam skema ijarah atas suatu pekerjaan tertentu, yang di borongkan adalah hasil dari pekerjaan tersebut. Oleh karena itu, tidak ada hubungan hukum dalam bentuk majikan dengan pekerja sebagaimana halnya dalam jasa perburuhan.

 D. Al-ijarah Mutahiyah bi Tamlik (IMBT)
Pengertian Ijarah Muntahiyah Bit Tamlik
Sewa menyewa dengan hak opsi pada akhir masa sewa, untuk membeli barang yang disewakan. Dalam sewa menyewa tersebut, uang pembayaran sewanya sudah termasuk cicilan atas harga pokok barang. Pihak yang menyewakan (dalam hal ini Bank misalnya) berjanji (wa’ad) kepada penyewa untuk memindahkan kepemilikan objek setelah masa sewa berakhir.  Janji tersebut harus dinyatakan dalam akad IMBT tersebut.
Jadi, kedudukan multifinance dan customer akan berubah pada akhir masa sewa. Pihak multifinance yang semula adalah pemilik barang selaku pihak yang menyewakan, akan berubah menjadi penjual pada akhir masa sewa. Demikian puluh customer, yang tadinya bertindak selaku penyewa, akan berubah menjadi pembeli pada akhir masa sewa.
Dalam praktik perbankan syariah, skema IMBT ini dapat digunakan untuk pembelian rumah dengan menggunakan system KPR, dimana barang yang di IMBT kan tersebut secara prinsip sudah merupakan milik nasabah yang bersangkutan.

Daftar Pustaka

Muhammad, 2009.  Model-model Akad Pembiayaan di Bank Sharia, UII Pres, Yogyakarta. 

Karim, Adwarman A, 2001.  Ekonomi islam suatu kajian kontemporer.  Gema Insani, Jakarta.

Hasan, A, 1991. Bulughul Maraam, Bangil : CV Pustaka Tamam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Manajemen Likuiditas dan Manajemen GAP

Manajemen Likuiditas dan Manajemen GAP Nama : Liza Moersin Npm  : 1401270136 Kelas : VI B Pagi Perbankan Syariah Buku  : A Adiwarman Karim, 2013, Bank Islam Analisis Fikih dan Keuangan Edisi Kelima, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada. Suasana Kelas Dosen Menjelaskan Susana Kelas Mahasiswa Mendengarkan Manajemen Likuiditas dan Manajemen GAP 1. MANAJEMEN LIKUIDITAS A. Sisi Penghimpunan Dana             Sebagian besar dana masyarakat yang diterima bank sifatnya jangka pendek. a.       Produk giro, misalnya, dengan media penarikan berupa cek atau bilyet giro, memang dimaksudkan untuk kemudahan nasabah melakukan transaksi, baik menerima uang atau membayar uang kepada mitranya. Sehingga periode waktu pengendapan dana-dana giro di bank bersifat jangka pendek. Salah satu ukuran yang digunakan untuk melihat berapa banyak dana-dana giro yang benar-benar mengendap di bank adalah floating rate (FR). FR= (rata-rata jumlah dana yang mutasi/rata-rata total dana)*10

Akad Ijarah, Manajemen Risiko Ijarah dan Penetapan Margin Ijarah

Nama : Liza Moersin NPM : 1401270136 Kelas : VI B Pagi-Perbankan Syariah Buku : Ir. Adiwarman A. Karim, BANK ISLAM ANALISIS FIQIH DAN KEUANGAN EDISI KEEMPAT Buku Panduan A.Definisi dan Konsep al-Ijarah Al-Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (ownership/milkiyah) atas barang itu sendiri.  Pada dasarnya prinsip ijarah sama saja dengan prinsip jual beli, tapi perbedaannya terletak pada objek transaksinya. Bila pada jual beli objek transaksinya barang, pada ijarah objek transaksinya adalah barang maupun jasa.   Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional, ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri.  وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ ۗوَاتَّقُوا

Jenis Jenis Pembiayaan pada Perbankan Syariah

Nama : Liza Moersin NPM : 1401270136 Kelas : VI B PAGI PERBANKAN SYARIAH Buku : Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan Edisi Keempat                      Suasana Kelas A.        Pengertian Pembiayaan Pada dasarnya fungsi utama Bank Syariah tidak jauh beda dengan bank konvensional yaitu menghimpun dana dari masyarakat kemudian menyalurkannya kembali atau lebih dikenal sebagai fungsi intermediasi. Dalam prakteknya bank syariah menyalurkan dana yang diperolehnya dalam bentuk pemberian pembiayaan, baik itu pembiayaan modal usaha maupun untuk komsumsi. Adapun pengertian pembiayaan menurut berbagai litertur yang ada sebagai berikut, Menurut Undang-Undang No.10 Tahun 1998 Pembiayaan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang di biayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil. Menurut M